Oleh: Prof H Dadang Kahmad
gambar diambil di sini |
Ayat di atas menjelaskan adanya relasi simbiosis antara iman (akidah) dan perilaku (amal) seorang manusia. Seorang mukmin akan khusyuk dalam shalat dan menjauhkan diri dari kehidupan yang sia-sia.
Ia akan selalu meninggalkan perbuatan buruk dan melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi dirinya serta lingkungan sekitar. Rasulullah SAW bersabda, “Dari kebaikan orang Islam adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat bagi dirinya.” (HR HR Tirmidzi dam Ibnu Majah).
Oleh karena itu, tidak pantas bila seorang mukmin menyia-nyiakan waktu, masa muda, kesehatan, kekayaan, dan setiap peluang dalam hidupnya. Namun, tak sedikit dari kita menyia-nyiakan masa muda karena salah mengartikan apa itu masa muda.
Prinsip yang kurang benar masa muda tidak akan kembali dipegang kuat sehingga seluruh aktivitas hidupnya diisi dengan foya-foya dan melayangkan angan tak nyata.
Orang yang percaya penuh pada Allah SWT akan senantiasa melaksanakan perintah-Nya, hidup hati-hati, menjaga shalat, membayar zakat, dan menjauhkan diri dari maksiat sehingga kehidupannya tetap terpelihara.
Orang beriman sadar betul kehidupan ini sementara dan segala amal akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Karena itu, orang beriman selalu berprinsip keinginan dan nafsu syahwat itu kalau diperturutkan akan mengakibatkan kesengsaraan jasmani maupun ruhani.
Orang yang imannya sempurna selalu memegang janji dan menjaga amanah yang dibebankan padanya. Hifdzul amanah (menjaga amanah) adalah salah satu pekerjaan mulia dan sulit. Banyak orang yang diberi amanah jabatan dan amanah kepercayaan, namun mengkhianatinya.
Timbulnya krisis ekonomi yang menimpa suatu bangsa disebabkan kurangnya para pemimpin memelihara amanah yang diemban.
Kondisi ini mengakibatkan banyak terjadi penyalahgunaan wewenang, korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi suatu kebiasaan, yang akhirnya menimbulkan krisis kepercayaan rakyat terhadap pemimpin.
Akhlak orang beriman akan selalu berdampak baik bagi dirinya dan lingkungan sekitar. Ia selalu mengadakan hubungan baik dengan Allah, dengan sesama manusia, dan dengan makhluk Allah seluruhnya.
Ia juga selalu takut pada Allah. Ketakutan ini merupakan ketakutan yang positif. Seperti yang tercermin di dalam firman-Nya, “Padahal, Allah-lah yang berhak kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS at-Taubah [9]: 13).
Oleh karena itu, keimanan yang kuat harus dimiliki siapa saja. Sebab, keimanan bisa mengatur manusia untuk selalu mengisi kehidupan di muka bumi dengan segenap kebajikan.
Keimanan membuat orang-orang secara tulus dan ikhlas melakukan hubungan dengan sesama manusia berdasarkan kerangka Ilahiah.
Segala gerak hidupnya, baik dalam rangka bekerja atau berniaga, berpolitik atau memimpin dan bermuamalah, selalu merujuknya pada pembenaran iman pada Allah SWT. Wallahua’lam bis-shawab. [rep]
Post a Comment